Oleh:
Ahmad Tafsir
Pembangunan jangka panjang tahap kedua yang terkenal
dengan sebutan PJP-II sebenarnya tidaklah amat istimewa, sebutan itu
biasa-biasa saja, itu hanyalah lanjutan pembangunan yang telah lalu. Di manapun
di dunia ini pembangunan itu selalu jutan, bila tidak berkelanjutan itu berarti
pembangunan macet.Tidak ada pemimpin yang merencanakan pembangunan negaranya
untuk suatu ketika macet. Menurut saya, digembar-gemborkannya PJP-II itu
sebagian besar bernuansa politik yang dimunculkan para pemimÚ† pin. PJP-II itu adalah
hal yang biasa-biasa saja.
PJP-II menjadi luar biasa bila kita menghubungkannya
dengan keadaan umum dunia dan hubungan itu merupakan suatu keharusan. Jadi,
_kondisi dunia_ itulah yang memaksa kita amat berhati-hati dalam pembangunan
jangka panjang tahap kedua ini. Karena itu pula PJP-II agaknya memang perlu
digembargemborkan. Apa kondisi dunia yang saya maksud? Yang saya maksud ialah
terjadinya globalisasi -mungkin- dalam semua aspek kehidupan. Bila dalam pemÚ† bangunan
itu kita tidak berhati-hati, maka mungkin saja kita akan "dimakan"
oleh budaya global itu. Yang dimakan itu baik aspek budaya fisik maupun budaya
non-fisik kita. Nah, dalam kerangka inilah menurut saya fungsi guru akan sangat
penting. Gurulah orang yang paling banyak dapat berbuat dalam merekayasa budaya
bangsa, selain pejabat politik sebagai pengmbil keputusan. Guru dan pembuat
keputusanlah yang paling bertanggung jawab membawa masyarakat memasuki budaya
global itu. Kesimpulan ini memberikan implikasi antara lain perlunya disiapkan
tenaga kependidikan termasuk guru- sebaik-baiknya. Karena itu pusat-pusat
pendidikan tenaga kependidikan tentunya menjadi perhatian utama.
Untuk melahirkan tenaga pendidik yang sesuai dengan
kebutuha diperlukan lembaga pendidikan, sekolah misalnya. Sekolah atau lembaga
kependidikan untuk menghasilkan tenaga kependidikan bersifat berjenjang;
masing-masing jenjang itu disebut sub-sistem kependidikan. Itu terentang sejak
tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi. Apakah masing-masing sub-sistem
lembaga kependi dikan itu telah "kompak" dengan sistemnya atau belum,
tentulah tidak mudah menjawabnya. Sekalipun demikian ada konseo-konsep tertentu
yang dapat digunakan untuk mengukurnya.
Konsep pertama ialah tujuanpendidikan pada sub-sistem
tertentu, misalnya tujuan pendidikan sekolah dasar. Bila tujuan itu relevan
dengan tujuan tertinggi pendidikan lembaga kepndidikan, maka tujuan
sub-sistem itu kita katakan sudah benar. Maka Ú† bila
misalnya tenaga kependidikan tertinggi itu kita ambil tujuan pendidikan di IKIP
jurusan apapun sebagai patokan, maka tujuan di tingkat pendidikan dasar dan
menengah haruslah relevan dengan tujuan IKIP tersebut. Tetapi, tujuan
pendidikan pada lembaga tertinggi itu harus benar lebih dahulu.
Konsep kedua ialah kurikulum sub-sistem tersebut, misalnya
kurikulum sekolah dasar. Logikanya, bila tujuannya sudah relevan maka
kurikulumnyapun seharusnya sudah relevan dengan kurikulum sub-sistem yang
tertinggi tadi.
Konsep ketiga ialah tentang metodologi. Bila tujuan sudah
benar, kurikulum sudah relevan dengan tujuan itu, maka metodologi pendidikan
juga harus relevan dengan tujuan itu. Yang dimaksud dengan metodologi di sini
ialah langkah-langkah pendidikan dalam rangka mencapai tujuan tersebut.
Inilah tiga konsep pokok yang dapat digunakan untuk
mengukur relevansi hubungan antara sub-sub-sistem pendidikan dalam lembaga
pendidikan tenaga kependidikan. Tentu saja tiga konsep itu di sini hanya
ditulis namanya saja, tidak mungkin dijelaskan satu persatu; yang di atas itu
penjelasan singkatpun bukan. Dalam penglihatan sepintas, kiranya keadaan
lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang kita miliki sekarang sudah
pada jalan yang benar, sekalipun kesimpulan saya ini tidak ditarik secara
hati-hati.
Sebenarnya, kunci semuanya itu terletak pada perumusan
_tujuan_ pendidikan pada lembaga kependidikan termaksud. Kesulitannya ialah
perumusan yang kita buat hari ini seringkali sudah kurang relevan esok harinya.
Tuntutan kebudayaan ternyata cepat sekali berkembang dan di sana-sini berubah.
Yang dapat kita pertahankan ialah tujuan-tujuan pokok, yang ini biasanya bersifat
tetap.
Tenaga kependidikan yang diharapkan ialah yang memiliki
tingkat profesional yang tinggi. Tenaga seperti inilah yang diharapkan oleh
perkembangan kebutuhan yang selalu berkembang dan berubah itu. Persoalan
terletak pada kemampuan kreatif lulusan pendidikan tenaga kependidikan, apakah
ia mampu mengubah dan menyesuaikan dirinya (maksudnya keahliannya) dengan
tuntutan baru? Hanya satu hal yang dapat saya kemukakan dalam menjawab
pertanyaan terakhir ini, yaitu tergantung pada "raw input" calon
pendidik tersebut, dalam hal ini sebaiknya raw input_nya adalah siswa yang
kecerdasannya di atas rata-rata, mereka ini biasanya berpotensi untuk menyesuaikan dirinya secara
kreatif.
Profesi calon pendidikan memang dapat disiapkan di lembaga
kependidikan. Tetapi, profesi itu tidak akan mencukupi bila ia tidak secara
kreatif mengembangkannya. Karena itu untuk memenuhi syarat disebut profesional
ia haruslah memiliki ciri-ciri berikut:
1. Menjadi pendidik hendaklah merupakan panggilan hidupnya dan
dikerjakan sepenuh waktu.Panggilan hidup artinya pilihan sadar, dipilih karena
wajib, bukan terbawa-bawa oleh orang lain, bukan pula karena kesenangan atau
hobi belaka. Sedangkan sepenuh waktu maksudnya ialah bukan sambilan, bukan
part- dan bukan pula untuk sementara.
2. Dalam profesinya itu ada keahlian yang khas yang tidak dimiliki
oleh profesi lain. Di dalam profesinya itu ada bagian yang gelap bagi pemegang
profesi lain. Itu berarti suatu profesi harus dipelajari secara khusus, bukan
diwarisi atau diperoleh dengan cara mencuri-curi. Makanya pemegang suatu
profesi selalu memiliki surat keterangan bahwa ia memegang profesi itu.
3. Di dalam keahliannya itu ia memiliki teori teori-teori yang baku
secara universal. Artinya profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas,
dikenal umum, teorinya terbuka, jadi seca
ra universal pegangannya diakui.
4. Kerja sebagai pendidik harus dipilihnya sebagai ajang
pengabdian, bukan untuk kepentingan pencarian materi untuk diri sendiri. Jika
pemegang profesi mendapat bayaran berupa materi, itu adalah penghargaan
masyarakat yang memerlukan profesinya, bahwa ia harus hidup, perlu makan, biaya
untuk mengembangkan, minimal menjaga profesinya itu. Pemegang profesi adalah
orang yang tahu diri, masyarakat juga
orang yang tahu diri.
5. Profesi harus juga dilengkapai dengan kecakapan diagnostic dan
kemampuan aplikatif.
6. Pemegang profesi sebagai pendidik memiliki otonomi dalam melakukan
profesinya. Otonomi itu hanya dapat diuji oleh anggota profesi itu. Itulah
sebabnya ada orang berpendapat bahwa tidak setiap orang boleh berbicara tentang
pendidikan.
7. Profesi harus memiliki kode etik. Dalam hal pendidik, kita telah
memiliki kode etik guru Indonesia.
8. Pemegang profesi sebaiknya aktif dalam organisasi profesi. Di situ
ia dapat mengembangkan profesinya bersama teman sejawatnya.
Itu adalah "pagar" yang di dalam pagar itu
seseorang dapat disebut memiliki suatu profesi, termasuk kreativitas yang
dimaksud tadi. Bila tenaga kendidikan telah memiliki yang delapan itu maka ia
akan dengan sendirinya dapat menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya,
terutama murid-muridnya. Teladan dalam segala hal. Bagaimana keadaan tenaga
kependidikan yang kita miliki sekarang?
Yang dimaksud dengan "tenaga kependidikan"
bukanlah hanya guru. Kepala sekolah, pegawai sekolah, dan semua orang yang
bersangkutan dengan sekolah itu seperti pengurus yaysan, pegawai kantor
pendidikan, semuanya adalah tenaga kependidikan. Mutu tenaga kependidikan kita itu tidak
akan terlepas dari dua hal yaitu _mutu lembaga pendidikan yang melahirkannya
serta kebudayaan yang melingkupinya. Bagaimana keadaan lembaga kependidikan kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengukurnya dengan diktum-diktum
tujuan pendidikan kita seperti yang terdapat di dalam undang-undang pendidikan
yang kita miliki. Di dalam undang-undang itu disebutÚ† kan bahwa tujuan pendidikan kita adalah :
1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Berbudi pekerti luhur;
3. Berpengetahuan dan berketerampilan;
4. Sehat jasmani dan ruhani;
5. Berkepribadian yang mantap;
6. Mandiri;
7. Memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan pendidikan seperti tercantum dalam undang-undang
itu sudah benar. Benar, karena bila tujuan itu tercapai maka lulusan kita pasti
akan mampu hidup dalam zaman global yang penuh tantangan itu. Lulusan kita
-saya kira- tidak hanya akan mampu dengan bangsa lain, bahkan akan mampu berada
di depan bangsa lain. Yang hebat dalam tujuan itu ialah ketika pengetaÚ† huan,
keterampilan, kemandirian, dan tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan itu
berada di tangan orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bila dunia diatur dan dihuni oleh orang-orang seperti itu saya yakin dunia ini
akan menjadi tempat tinggal yang menyenangkan, mungkin orang akan keenakan
sehingga ia enggan meninggalkan dunia ini, seandainya boleh demikian. Tetapi
bila kita memperhatikan kualitias pendidiÚ† kan di rumah tangga dan pendidikan di
sekolah sekarang, maka kita akan ragu, apakah tujuan itu dapat dicapai. Pendidikan
keimanan adalah pendidikan yang harus dilakukan di rumah tangga, bukan terutama
di sekolah. Bila pendidikan keimanan
telah berhasil di rumah tangga, maka pendidikan keimanan di sekolah akan dapat
dilakukan dengan mudah. Begitu pula sebaliknya. Yang kita saksikan sekarang ialah
yang sebaliknya itu. Ayah dan ibu telah terlalu jarang di rumah, kadang-kadang
ayah dan atau ibu tidak pula memahami cara menanamkan iman kepada anak-anaknya.
Ini akan menjadi masalah serius kelaknya bila tidak segera diantisipasi sejak
sekarang. Perlu segera diantisipasi karena hal itu merupakan tuntutan tujuan
pendidikan nasional itu; perlu segera diantisipasi karena globalisasi itu
membawa nilai-nilai yang dapat merusak keimanan manusia. Urusan tanggung jawab
orang tua terhadap penanaman iman kepada anak-anaknya hendaknya tidak
diserahkan begitu saja kepada orang tua tersebut. Mungkin saja banyak orang tua
yang tidak tahu bahwa hal itu merupakan tanggung jawab mereka, mungkin saja
banyak orang tua yang menyangka bahwa soal pendidikan itu seluruhnya dapat
diserahkan saja ke sekolah. Menurut hemat saya, pemerintah perlu campur tangan
sampai ke rumah tangga, terutama dalam hal pendidikan keimanan tersebut. Perlu
campur tangan, karena bila di rumah pendidikan keimanan itu gagal, itu berarti
akan gagal pula pendidikan secara keseluruhan, dus tujuan pendidikan nasional
tidak akan tercapai. Kerjasama sekolah dengan rumah tangga jelas perlu sekali.
Apa isi kerjasama itu, toh dapat dirancang belakangan; toh esensinya sudah
diketahui yaitu penanaman keimanan itu
tadi. Tokoh-tokoh informal dalam masyarakat tidak boleh berpangku tangan
menghadapi gejala itu. Banyak sekali media yang dapat digunakan oleh tokoh
masyarakat untuk menginsafkan orang tua di rumah tentang tanggung jawabnya itu.
Media khotbah jum'ah, ceramah-ceramah, pengajian rutin dan sebagainya dapat
digunakan sebagai media yang efektif. Penulisan di berbagai penerbitan lokal
atau nasional juga dapat dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat tersebut.
Bila usaha tokoh masyarakat itu dikoordinasikan dengan pemerintah melalui tokoh
formal, tentu itu salah satu yang sangat baik ditempuh. Pendidikan keimanan di
sekolah berjalan sebagaimana pendidikan untuk bidang studi lain. Pada umumnya
yang dilakukan guru ialah menanamkan iman dengan cara pengajaran kognitif.
Usaha ini amat diragukan keefetivannya dalam hal menanamkan iman. Yang menjadi
kunci pendidikan keimanan di sekolah ialah penciptaan atmosfer lingkungan
sekolah yang kondusif bagi penanaman iman; ini merupakan tanggung jawab kepala
sekolah. Penambahan pengetaÚ† huan tentang iman penting juga tetapi sungguh-sungguh hanya
sedikit saja bahkan diragukan hasilnya bagi penanaman iman. Ini berarti
peringatan kepada kepala sekolah. Peringatan ini penting bagi kepala sekolah
bila ia ingat bahwa tujuannya ialah mencapai tujuan pendidikan nasional tadi.
Bila kepala sekolah tidak memperhatikan peringatan ini maka usahanya dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional dapat dikatakan kurang maksimal, bahkan
sia-sia saja. Mengenai pendidikan pada aspek pengetahuan, keterampilan, serta
penanaman sikap bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa, tidak saya
bahas di sini. Yang dibahas berikut ini ialah sedikit tentang pendidikan
kemandirian. Penglihatan selintas terhadap pendidikan di rumah tangga dan di
sekolah menunjukkan bahwa usaha para pendidik (orang tua dan pendidik di
sekolah) untuk menjadikan anaknya atau anak didiknya mandiri masih amat kurang. Di rumah masih
terlalu banyak orang tua yang terlalu "memanjakan" anaknya. Anaknya
terlalu banyak ditolong, kurang diberi beban tanggung jawab. Kadang-kadang
orang tua kasihan pada anaknya, kasihan bila anaknya kerja keras, tidak tega
bila kurang uang jajannya, tidak sampai hati bila anaknya tidak dapat mengikuti
teman-temannya ke klub setiap malam Ahad, dan sebagainya. Orang tua seringkali
mengikuti saja kehendak anaknya, sekalipun kehendak anaknya itu tidak masuk
akalnya. Anak-anak punya cita-cita.
Cita-cita anak remaja biasanya selalu tinggi: hendak menjadi manager,
turun naik mobil sendiri bersama sopir, pakai dasi, memegang telepon genggam.
Biasa, remaja hanya melihat masa depan itu pada aspek enaknya saja. Dan orang
tua juga mengikuti saja pikiran itu. Padahal orang tua sebenarnya tahu bahwa
seringkali hidup harus dijalani dengan amat sulit. Saat ini ideal pemuda kita
banyak sekali dipengaruhi budaya Barat yang mereka saksikan pada filem atau
media cetak. Hanyut dalam cita-cita itu, kadang-kadang mereka lupa betul bahwa
hidup itu lebih banyak sulitnya dari pada mudahnya. Ujung-ujungnya mereka gagal
menjadi orang yang mandiri. Pendidikan di sekolah juga kurang ditujukan kepada
kemandirian. Lihatlah bagaimana guru mengajar. Mereka umumnya berceramah,
menerangkan. Anak selalu disuapi. Metode inquiry, problem solving dan
sejenisnya, sebenarnya banyak membantu menciptakan orang yang mandiri.
Sayangnya jarang sekali guru menggunakan metode ini. Para siswa ingin segera
selesai sekolah, ingin nilai yang bagus. Ya, agar kedudukan yang enak tadi
dapat diraih secepatnya, begitu pikir mereka. Untuk itu mereka tidak segan
berbuat tidak jujur. Yang paling berbahaya ialah melihat catatan waktu ujian,
istilahnya nyontek. Nyontek itulah demonstrasi yang paling nyata tentang
ketidakmandirian siswa kita. Biladigunakan analisis psikologis, kita akan tahu
bahwa nyontek itu amat berbahaya dalam pendidikan. Tetapi, apakah kepala sekolah
tahu hal ini? Apakah guru juga memahami bahaya ini? Mengapa tidak diciptakan
suatu cara evaluasi yang dengan cara itu siswa tidak mungkin melakukan
penyontekan? Mengapa hukuman bagi siswa yang ketahuan nyontek seringkali
terlalu ringan, bahkan hanya diperingatkan saja? Bukankah gejala ini menjadi
bukti bahwa kita para pendidik kurang beruasaha menjadikan murid kita mandiri?
Wah, ini konyol sekali. Sedangkan untuk dapat hidup di zaman global nanti,
kemandirian itu amat penting.
Bagaimana dengan kebudayaan kita? Dapatkah kebudayaan kita memacu siswa
agar beriman, bertaqwa, cinta bangsa, dan mandiri? Bila dilihat secara agak
teliti kita tentu akan berkesimpulan bahwa kebudayaan sekarang, tidak mendukung
terwujudnya orang yang mandiri seperti yang diharpkan itu. Kita tidak
mungkin lari dari proses
globalisasi. Yang mungkin ialah
kita berusaha merekayasa kebudayaan yang
mampu memfilter nilai-nilai negatif yang dibawa arus globalisasi itu. Tapi apa
yang kita lihat? Orang-orang semakin materialist. Itu jelas sekali, pada
kalangan muslimpun tidak terkecuali. Orang semakin individualis, kebersamaan
semakin merosot. Ini pasti berujung pada menipisnya keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sangsi sosial juga amat mundur, padahal itu salah satu media dalam
mendidik anak muda. Coba saja lihat. Dulu, anak yang pacaran secara
terang-terangan sudah dicap tidak baik oleh masyrakat, sekarang anak remaja
yang hamil sebelum nikah sudah mulai dianggap tidak apa-apa, itu biasa. Karena
biasa, maka ia langsung menjadi nilai kebudayaan. Dulu, orang tua mengatur
anaknya, dan anak-anaknya bersedia menerima aturan itu. Sekarang sudah banyak
orang tua yang diatur oleh anaknya; orang tua itu ada yang pontang-panting
mencari uang demi menuruti aturan yang dibuat oleh anaknya. Kasihan orang tua
zaman sekarang. Kebudayaan kita tidak mungkin tidak berubah. Ya, itu benar. Itu
mengikuti hukum kebudayaan. Tetapi, apakah perubahan itu menuju ke yang baik
atau ke yang buruk, itu dapat kita rekayasa.
Menolak semua nilai Barat adalah hal yang tidak mungkin dan merupakan
kebodohan. Yang bijaksana ialah mengambil nilai Barat yang positif dan
menyingkirkan yang negatif. Bagaimana caranya? Kita memerlukan filter untuk
itu. Filternya ialah keimanan tadi. Jadi, kembali lagi ke keimanan. Itulah
sebabnya saya mengatakan bahwa _penanaman iman itulah inti segala pendidikan. Bila
demikian guru yang profesional harus memahami benar tesis ini. Lembaga pendidikan
yang menghasilkan guru, juga harus, sekali lagi harus, mencamkan benar-benar
tesis terakhir ini. Bila tidak, sia-sialah semua usaha pendidikan itu.