Rabu, 14 September 2011

MEMBACA SEBAGAI SALAH SATU SARANA MENINGKATKAN POTENSI ANAK


Menurut Psikolog Dr. Rose mini,Mpsi, sesungguhnya setiap anak berbeda, tak ada anak yang sama meski dari rahim yang sama, yang perlu diyakini bahwa sejak dilahirkan anak sudah membawa berbagai potensi yang diturunkan kedua orangtuanya.
Orangtua sering sekali menutut anaknya untuk gemar membaca, tetapi kebanyakan mereka lupa bahwa minat baca anak tidak bisa datang dengan  sendirinya. Minat baca harus di pupuk dari dalam keluarganya sendiri. Menciptakan suasana gemar membaca dalam keluarga dengan melibatkan aktivitas anak yang berhubungan dengan buku adalah salah satu cara terbaik untuk membangkitkan minat baca anak.
Bacaan anak sebagai media pendidikan dapat menggugah dan mengembangkan potensi seorang anak, untuk itu tentu saja harus dipergunakan dan dibutuhkan bacaan yang baik. Bacaan yang baik harus diperkenalkan orangtua (orang dewasa) kepada anak dengan antusiasme, ini dapat tercapai kalau kita sendiri mengenal bacaan anak sehingga dapat membimbing anak, meskipun nantinya pilihan dapat kita serahkan pada mereka sendiri.
Lalu potensi apa saja yang dapat kita gugah dan kembangkan pada diri seorang anak? Bakat dan kreatifitas anak dapat dikembangkan misalnya melalui buku-buku yang mempunyai ilustrasi yang bagus. Melalui bagian cerita yang indah memungkinkan anak terdorong untuk menulis, membuat puisi, sehingga apresiasi mereka terhadap bahasa dapat ditingkatkan. Dengan membaca buku fiksi ilmiah, imajinasi anak dapat mengantisipasi teknologi masa depan.
Melalui buku-buku non-fiksi yang bersifat informasi maka wawasan anak tentang lingkungan bertambah dan ini dapat menolong mereka mengamati lingkungannya. Menggugah dan mengembangkan potensi anak serta pemahaman nilai-nilai dapat tercapai dengan baik, bila disekolah maupun di perpustakaan anak dibiasakan untuk memberikan tanggapan mengenai buku yang dibacanya. Misalnya dengan cara mendiskusikan sebuah buku atau cerita, mengajak anak-anak untuk banyak bertanya dan melontarkan pendapatnya, membandingkan ilustrasi buku atau diminta membuat ilustrasi buku yang di bacanya sesuai dengan interpretasi anak masing-masing, mendiskusikan bahasa yang dipakai pengarang dan sebagainya.

Peranan Ibu dan Bapak

Mungkin ibu dan bapak sudah mengetahui bahwa anak harus didekatkan pada buku sejak mereka masih kecil untuk membentuk mereka menjadi manusia yang berwatak, arif berwawasan dan berinteligensia tinggi di kemudian hari. Jadi jelaslah bahwa dalam kehidupan keluarga, minat dan kecintaan membaca seorang anak harus ditanamkan dan dimulai oleh ibu dan bapak. Ibu dan bapak harus dapat memberi contoh kepada anak-anaknya. Karena itu ibu dan bapak haruslah merupakan pribadi yang gemar membaca juga.
Menurut penelitian Prof. Benyamin Bloom (Jim Trelease, 1982) bahwa 50% kematangan intelegensia seorang anak tidak hanya suka meniru-niru suara-suara yang didengar di rumahnya (termasuk suara TV), mereka meniru perbuatan orang tuanya.
Beberapa saran yang digunakan untuk mendekatkan anak pada sastra:
1.      Biasakan anak-anak bergaul dan dikelilingi buku dirumah sejak mereka belum bersekolah (masa prasekolah).
2.      Kita dapat memperkenalkan sastra pada anak-anak sebelum mereka dapat membaca dengan cara membacakan buku yang baik dan sesuai untuk anak prasekolah.
3.      Tidak benar bahwa membacakan cerita pada anak akan mematikan inisiatifnya untuk dapat membaca sendiri. Justru sebaliknya, anak akan suka membaca dan lebih cepat dapat membaca, karena anak terbiasa melihat huruf dan kata-kata.
4.      Janganlah segera berhenti membacakan cerita pada anak segera setelah mereka dapat membaca sendiri.
5.      Ibu dan bapak haruslah mau meluangkan waktu untuk bercerita atau membacakan buku pada anak secara teratur setiap hari.
6.      Carilah waktu saat ibu  bapak dan anak sama-sama dalam keadaan  santai.
7.      Hal lain yang perlu diajarkan pada anak adalah belajar merawat dan menyayangi buku.
8.      Janganlah memberikan buku yang sarat dengan pesan-pesan moral, karena anak akan bosan dan tidak mau membacanya.
 Langkah Menciptakan Suasana Membaca
1.      Fisik: Ruang yang bersih, terasa lega dimana buku-buku disusun secara rapi dan teratur serta terawat bersih maka dengan sendirinya mengajar anak untuk mencintai dan menyukai memasuki suatu ruangan yang disebut sebagai perpustakaan.
2.      Mental: Ibu dan bapak tidak hanya mengajar membaca, tetapi juga memotivasi anak menyukai membaca dan menjadi pembaca yang baik.
3.      Sarana: Anak harus dikelilingi dengan buku. Oleh karena itu, dirumah harus mempunyai banyak koleksi buku yang mudah didapat. Selain buku idealnya juga tersedia film strip, video, film yang isinya berhubungan dengan bacaan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku Mendongeng dan Minat Membaca, DR. Murti Bananta, SS; MA, Jakarta : 2004
Menumbuhkan Kemandirian dan Harga Diri Anak, Deborah K. Parker, M.Ed, Jakarta : 2006

SISTEM KEPENDIDIKAN DAN PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHAP KEDUA


Oleh: Ahmad Tafsir

Pembangunan jangka panjang tahap kedua yang terkenal dengan sebutan PJP-II sebenarnya tidaklah amat istimewa, sebutan itu biasa-biasa saja, itu hanyalah lanjutan pembangunan yang telah lalu. Di manapun di dunia ini pembangunan itu selalu jutan, bila tidak berkelanjutan itu berarti pembangunan macet.Tidak ada pemimpin yang merencanakan pembangunan negaranya untuk suatu ketika macet. Menurut saya, digembar-gemborkannya PJP-II itu sebagian besar bernuansa politik yang dimunculkan para pemimÚ† pin. PJP-II itu adalah hal yang biasa-biasa saja.     

PJP-II menjadi luar biasa bila kita menghubungkannya dengan keadaan umum dunia dan hubungan itu merupakan suatu keharusan. Jadi, _kondisi dunia_ itulah yang memaksa kita amat berhati-hati dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua ini. Karena itu pula PJP-II agaknya memang perlu digembargemborkan. Apa kondisi dunia yang saya maksud? Yang saya maksud ialah terjadinya globalisasi -mungkin- dalam semua aspek kehidupan. Bila dalam pemÚ† bangunan itu kita tidak berhati-hati, maka mungkin saja kita akan "dimakan" oleh budaya global itu. Yang dimakan itu baik aspek budaya fisik maupun budaya non-fisik kita. Nah, dalam kerangka inilah menurut saya fungsi guru akan sangat penting. Gurulah orang yang paling banyak dapat berbuat dalam merekayasa budaya bangsa, selain pejabat politik sebagai pengmbil keputusan. Guru dan pembuat keputusanlah yang paling bertanggung jawab membawa masyarakat memasuki budaya global itu. Kesimpulan ini memberikan implikasi antara lain perlunya disiapkan tenaga kependidikan termasuk guru- sebaik-baiknya. Karena itu pusat-pusat pendidikan tenaga kependidikan tentunya menjadi perhatian utama.     

Untuk melahirkan tenaga pendidik yang sesuai dengan kebutuha diperlukan lembaga pendidikan, sekolah misalnya. Sekolah atau lembaga kependidikan untuk menghasilkan tenaga kependidikan bersifat berjenjang; masing-masing jenjang itu disebut sub-sistem kependidikan. Itu terentang sejak tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi. Apakah masing-masing sub-sistem lembaga kependi dikan itu telah "kompak" dengan sistemnya atau belum, tentulah tidak mudah menjawabnya. Sekalipun demikian ada konseo-konsep tertentu yang dapat digunakan untuk mengukurnya.      

Konsep pertama ialah tujuanpendidikan pada sub-sistem tertentu, misalnya tujuan pendidikan sekolah dasar. Bila tujuan itu relevan dengan tujuan tertinggi pendidikan lembaga kepndidikan, maka tujuan sub-sistem  itu  kita katakan sudah benar. Maka Ú† bila misalnya tenaga kependidikan tertinggi itu kita ambil tujuan pendidikan di IKIP jurusan apapun sebagai patokan, maka tujuan di tingkat pendidikan dasar dan menengah haruslah relevan dengan tujuan IKIP tersebut. Tetapi, tujuan pendidikan pada lembaga tertinggi itu harus benar lebih dahulu.

Konsep kedua ialah kurikulum sub-sistem tersebut, misalnya kurikulum sekolah dasar. Logikanya, bila tujuannya sudah relevan maka kurikulumnyapun seharusnya sudah relevan dengan kurikulum sub-sistem yang tertinggi tadi.
Konsep ketiga ialah tentang metodologi. Bila tujuan sudah benar, kurikulum sudah relevan dengan tujuan itu, maka metodologi pendidikan juga harus relevan dengan tujuan itu. Yang dimaksud dengan metodologi di sini ialah langkah-langkah pendidikan dalam rangka mencapai tujuan tersebut.     

Inilah tiga konsep pokok yang dapat digunakan untuk mengukur relevansi hubungan antara sub-sub-sistem pendidikan dalam lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Tentu saja tiga konsep itu di sini hanya ditulis namanya saja, tidak mungkin dijelaskan satu persatu; yang di atas itu penjelasan singkatpun bukan. Dalam penglihatan sepintas, kiranya keadaan lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang kita miliki sekarang sudah pada jalan yang benar, sekalipun kesimpulan saya ini tidak ditarik secara hati-hati.      

Sebenarnya, kunci semuanya itu terletak pada perumusan _tujuan_ pendidikan pada lembaga kependidikan termaksud. Kesulitannya ialah perumusan yang kita buat hari ini seringkali sudah kurang relevan esok harinya. Tuntutan kebudayaan ternyata cepat sekali berkembang dan di sana-sini berubah. Yang dapat kita pertahankan ialah tujuan-tujuan pokok, yang ini biasanya bersifat tetap.     

Tenaga kependidikan yang diharapkan ialah yang memiliki tingkat profesional yang tinggi. Tenaga seperti inilah yang diharapkan oleh perkembangan kebutuhan yang selalu berkembang dan berubah itu. Persoalan terletak pada kemampuan kreatif lulusan pendidikan tenaga kependidikan, apakah ia mampu mengubah dan menyesuaikan dirinya (maksudnya keahliannya) dengan tuntutan baru? Hanya satu hal yang dapat saya kemukakan dalam menjawab pertanyaan terakhir ini, yaitu tergantung pada "raw input" calon pendidik tersebut, dalam hal ini sebaiknya raw input_nya adalah siswa yang kecerdasannya di atas rata-rata, mereka ini biasanya  berpotensi untuk menyesuaikan dirinya secara kreatif.     

Profesi calon pendidikan memang dapat disiapkan di lembaga kependidikan. Tetapi, profesi itu tidak akan mencukupi bila ia tidak secara kreatif mengembangkannya. Karena itu untuk memenuhi syarat disebut profesional ia haruslah memiliki ciri-ciri berikut:
1.      Menjadi pendidik hendaklah merupakan panggilan hidupnya dan dikerjakan sepenuh waktu.Panggilan hidup artinya pilihan sadar, dipilih karena wajib, bukan terbawa-bawa oleh orang lain, bukan pula karena kesenangan atau hobi belaka. Sedangkan sepenuh waktu maksudnya ialah bukan sambilan, bukan part- dan bukan pula untuk sementara.
2.      Dalam profesinya itu ada keahlian yang khas yang tidak dimiliki oleh profesi lain. Di dalam profesinya itu ada bagian yang gelap bagi pemegang profesi lain. Itu berarti suatu profesi harus dipelajari secara khusus, bukan diwarisi atau diperoleh dengan cara mencuri-curi. Makanya pemegang suatu profesi selalu memiliki surat keterangan bahwa ia memegang profesi itu.
3.      Di dalam keahliannya itu ia memiliki teori teori-teori yang baku secara universal. Artinya profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka, jadi seca     ra universal pegangannya diakui. 
4.      Kerja sebagai pendidik harus dipilihnya sebagai ajang pengabdian, bukan untuk kepentingan pencarian materi untuk diri sendiri. Jika pemegang profesi mendapat bayaran berupa materi, itu adalah penghargaan masyarakat yang memerlukan profesinya, bahwa ia harus hidup, perlu makan, biaya untuk mengembangkan, minimal menjaga profesinya itu. Pemegang profesi adalah orang     yang tahu diri, masyarakat juga orang yang tahu diri.
5.      Profesi harus juga dilengkapai dengan kecakapan diagnostic dan kemampuan aplikatif.
6.      Pemegang profesi sebagai pendidik memiliki otonomi dalam melakukan profesinya. Otonomi itu hanya dapat diuji oleh anggota profesi itu. Itulah sebabnya ada orang berpendapat bahwa tidak setiap orang boleh berbicara tentang pendidikan.
7.      Profesi harus memiliki kode etik. Dalam hal pendidik, kita telah memiliki kode etik guru Indonesia. 
8.      Pemegang profesi sebaiknya aktif dalam organisasi profesi. Di situ ia dapat mengembangkan profesinya bersama teman sejawatnya.     

Itu adalah "pagar" yang di dalam pagar itu seseorang dapat disebut memiliki suatu profesi, termasuk kreativitas yang dimaksud tadi. Bila tenaga kendidikan telah memiliki yang delapan itu maka ia akan dengan sendirinya dapat menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya, terutama murid-muridnya. Teladan dalam segala hal. Bagaimana keadaan tenaga kependidikan yang kita miliki sekarang?     

Yang dimaksud dengan "tenaga kependidikan" bukanlah hanya guru. Kepala sekolah, pegawai sekolah, dan semua orang yang bersangkutan dengan sekolah itu seperti pengurus yaysan, pegawai kantor pendidikan, semuanya adalah tenaga kependidikan.       Mutu tenaga kependidikan kita itu tidak akan terlepas dari dua hal yaitu _mutu lembaga pendidikan yang melahirkannya serta kebudayaan yang melingkupinya.       Bagaimana keadaan lembaga kependidikan kita? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengukurnya dengan diktum-diktum tujuan pendidikan kita seperti yang terdapat di dalam undang-undang pendidikan yang kita miliki. Di dalam undang-undang itu disebutÚ† kan bahwa tujuan pendidikan kita adalah :
1.      Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.      Berbudi pekerti luhur;
3.      Berpengetahuan dan berketerampilan;
4.      Sehat jasmani dan ruhani;
5.      Berkepribadian yang mantap;
6.      Mandiri;
7.      Memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Tujuan pendidikan seperti tercantum dalam undang-undang itu sudah benar. Benar, karena bila tujuan itu tercapai maka lulusan kita pasti akan mampu hidup dalam zaman global yang penuh tantangan itu. Lulusan kita -saya kira- tidak hanya akan mampu dengan bangsa lain, bahkan akan mampu berada di depan bangsa lain. Yang hebat dalam tujuan itu ialah ketika pengetaÚ† huan, keterampilan, kemandirian, dan tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan itu berada di tangan orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bila dunia diatur dan dihuni oleh orang-orang seperti itu saya yakin dunia ini akan menjadi tempat tinggal yang menyenangkan, mungkin orang akan keenakan sehingga ia enggan meninggalkan dunia ini, seandainya boleh demikian. Tetapi bila kita memperhatikan kualitias pendidiÚ† kan di rumah tangga dan pendidikan di sekolah sekarang, maka kita akan ragu, apakah tujuan itu dapat dicapai. Pendidikan keimanan adalah pendidikan yang harus dilakukan di rumah tangga, bukan terutama di sekolah. Bila pendidikan  keimanan telah berhasil di rumah tangga, maka pendidikan keimanan di sekolah akan dapat dilakukan dengan mudah. Begitu pula sebaliknya. Yang kita saksikan sekarang ialah yang sebaliknya itu. Ayah dan ibu telah terlalu jarang di rumah, kadang-kadang ayah dan atau ibu tidak pula memahami cara menanamkan iman kepada anak-anaknya. Ini akan menjadi masalah serius kelaknya bila tidak segera diantisipasi sejak sekarang. Perlu segera diantisipasi karena hal itu merupakan tuntutan tujuan pendidikan nasional itu; perlu segera diantisipasi karena globalisasi itu membawa nilai-nilai yang dapat merusak keimanan manusia. Urusan tanggung jawab orang tua terhadap penanaman iman kepada anak-anaknya hendaknya tidak diserahkan begitu saja kepada orang tua tersebut. Mungkin saja banyak orang tua yang tidak tahu bahwa hal itu merupakan tanggung jawab mereka, mungkin saja banyak orang tua yang menyangka bahwa soal pendidikan itu seluruhnya dapat diserahkan saja ke sekolah. Menurut hemat saya, pemerintah perlu campur tangan sampai ke rumah tangga, terutama dalam hal pendidikan keimanan tersebut. Perlu campur tangan, karena bila di rumah pendidikan keimanan itu gagal, itu berarti akan gagal pula pendidikan secara keseluruhan, dus tujuan pendidikan nasional tidak akan tercapai. Kerjasama sekolah dengan rumah tangga jelas perlu sekali. Apa isi kerjasama itu, toh dapat dirancang belakangan; toh esensinya sudah diketahui yaitu  penanaman keimanan itu tadi. Tokoh-tokoh informal dalam masyarakat tidak boleh berpangku tangan menghadapi gejala itu. Banyak sekali media yang dapat digunakan oleh tokoh masyarakat untuk menginsafkan orang tua di rumah tentang tanggung jawabnya itu. Media khotbah jum'ah, ceramah-ceramah, pengajian rutin dan sebagainya dapat digunakan sebagai media yang efektif. Penulisan di berbagai penerbitan lokal atau nasional juga dapat dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat tersebut. Bila usaha tokoh masyarakat itu dikoordinasikan dengan pemerintah melalui tokoh formal, tentu itu salah satu yang sangat baik ditempuh. Pendidikan keimanan di sekolah berjalan sebagaimana pendidikan untuk bidang studi lain. Pada umumnya yang dilakukan guru ialah menanamkan iman dengan cara pengajaran kognitif. Usaha ini amat diragukan keefetivannya dalam hal menanamkan iman. Yang menjadi kunci pendidikan keimanan di sekolah ialah penciptaan atmosfer lingkungan sekolah yang kondusif bagi penanaman iman; ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah. Penambahan pengetaÚ† huan tentang iman penting juga tetapi sungguh-sungguh hanya sedikit saja bahkan diragukan hasilnya bagi penanaman iman. Ini berarti peringatan kepada kepala sekolah. Peringatan ini penting bagi kepala sekolah bila ia ingat bahwa tujuannya ialah mencapai tujuan pendidikan nasional tadi. Bila kepala sekolah tidak memperhatikan peringatan ini maka usahanya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional dapat dikatakan kurang maksimal, bahkan sia-sia saja. Mengenai pendidikan pada aspek pengetahuan, keterampilan, serta penanaman sikap bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa, tidak saya bahas di sini. Yang dibahas berikut ini ialah sedikit tentang pendidikan kemandirian. Penglihatan selintas terhadap pendidikan di rumah tangga dan di sekolah menunjukkan bahwa usaha para pendidik (orang tua dan pendidik di sekolah) untuk menjadikan anaknya atau anak didiknya  mandiri masih amat kurang. Di rumah masih terlalu banyak orang tua yang terlalu "memanjakan" anaknya. Anaknya terlalu banyak ditolong, kurang diberi beban tanggung jawab. Kadang-kadang orang tua kasihan pada anaknya, kasihan bila anaknya kerja keras, tidak tega bila kurang uang jajannya, tidak sampai hati bila anaknya tidak dapat mengikuti teman-temannya ke klub setiap malam Ahad, dan sebagainya. Orang tua seringkali mengikuti saja kehendak anaknya, sekalipun kehendak anaknya itu tidak masuk akalnya. Anak-anak punya cita-cita.  Cita-cita anak remaja biasanya selalu tinggi: hendak menjadi manager, turun naik mobil sendiri bersama sopir, pakai dasi, memegang telepon genggam. Biasa, remaja hanya melihat masa depan itu pada aspek enaknya saja. Dan orang tua juga mengikuti saja pikiran itu. Padahal orang tua sebenarnya tahu bahwa seringkali hidup harus dijalani dengan amat sulit. Saat ini ideal pemuda kita banyak sekali dipengaruhi budaya Barat yang mereka saksikan pada filem atau media cetak. Hanyut dalam cita-cita itu, kadang-kadang mereka lupa betul bahwa hidup itu lebih banyak sulitnya dari pada mudahnya. Ujung-ujungnya mereka gagal menjadi orang yang mandiri. Pendidikan di sekolah juga kurang ditujukan kepada kemandirian. Lihatlah bagaimana guru mengajar. Mereka umumnya berceramah, menerangkan. Anak selalu disuapi. Metode inquiry, problem solving dan sejenisnya, sebenarnya banyak membantu menciptakan orang yang mandiri. Sayangnya jarang sekali guru menggunakan metode ini. Para siswa ingin segera selesai sekolah, ingin nilai yang bagus. Ya, agar kedudukan yang enak tadi dapat diraih secepatnya, begitu pikir mereka. Untuk itu mereka tidak segan berbuat tidak jujur. Yang paling berbahaya ialah melihat catatan waktu ujian, istilahnya nyontek. Nyontek itulah demonstrasi yang paling nyata tentang ketidakmandirian siswa kita. Biladigunakan analisis psikologis, kita akan tahu bahwa nyontek itu amat berbahaya dalam pendidikan. Tetapi, apakah kepala sekolah tahu hal ini? Apakah guru juga memahami bahaya ini? Mengapa tidak diciptakan suatu cara evaluasi yang dengan cara itu siswa tidak mungkin melakukan penyontekan? Mengapa hukuman bagi siswa yang ketahuan nyontek seringkali terlalu ringan, bahkan hanya diperingatkan saja? Bukankah gejala ini menjadi bukti bahwa kita para pendidik kurang beruasaha menjadikan murid kita mandiri? Wah, ini konyol sekali. Sedangkan untuk dapat hidup di zaman global nanti, kemandirian itu amat penting.          Bagaimana dengan kebudayaan kita? Dapatkah kebudayaan kita memacu siswa agar beriman, bertaqwa, cinta bangsa, dan mandiri? Bila dilihat secara agak teliti kita tentu akan berkesimpulan bahwa kebudayaan sekarang, tidak mendukung terwujudnya orang yang mandiri seperti yang diharpkan itu. Kita  tidak  mungkin lari dari proses  globalisasi. Yang  mungkin ialah kita berusaha merekayasa  kebudayaan yang mampu memfilter nilai-nilai negatif yang dibawa arus globalisasi itu. Tapi apa yang kita lihat? Orang-orang semakin materialist. Itu jelas sekali, pada kalangan muslimpun tidak terkecuali. Orang semakin individualis, kebersamaan semakin merosot. Ini pasti berujung pada menipisnya keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sangsi sosial juga amat mundur, padahal itu salah satu media dalam mendidik anak muda. Coba saja lihat. Dulu, anak yang pacaran secara terang-terangan sudah dicap tidak baik oleh masyrakat, sekarang anak remaja yang hamil sebelum nikah sudah mulai dianggap tidak apa-apa, itu biasa. Karena biasa, maka ia langsung menjadi nilai kebudayaan. Dulu, orang tua mengatur anaknya, dan anak-anaknya bersedia menerima aturan itu. Sekarang sudah banyak orang tua yang diatur oleh anaknya; orang tua itu ada yang pontang-panting mencari uang demi menuruti aturan yang dibuat oleh anaknya. Kasihan orang tua zaman sekarang. Kebudayaan kita tidak mungkin tidak berubah. Ya, itu benar. Itu mengikuti hukum kebudayaan. Tetapi, apakah perubahan itu menuju ke yang baik atau ke yang buruk, itu dapat kita rekayasa.  Menolak semua nilai Barat adalah hal yang tidak mungkin dan merupakan kebodohan. Yang bijaksana ialah mengambil nilai Barat yang positif dan menyingkirkan yang negatif. Bagaimana caranya? Kita memerlukan filter untuk itu. Filternya ialah keimanan tadi. Jadi, kembali lagi ke keimanan. Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa _penanaman iman itulah inti segala pendidikan. Bila demikian guru yang profesional harus memahami benar tesis ini. Lembaga pendidikan yang menghasilkan guru, juga harus, sekali lagi harus, mencamkan benar-benar tesis terakhir ini. Bila tidak, sia-sialah semua usaha pendidikan itu.  

PENERAPAN E-LEARNING DALAM PEMBELAJARAN


BY : IVO YANI
A.     Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat khususnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT) ternyata mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia sehari-hari. Proses perubahan ini juga berdampak bagi dunia pendidikan dan menimbulkan pertentangan filosofis yang sangat nyata dalam dunia pendidikan. Beberapa pertentangan tersebut, menurut Onno W. Purbo (2002) antara lain adalah:
1.      Apakah kita menganut pola pengajaran teaching based yang berpusat pada guru? Atau learning based dimana guru hanya berfungsi sebagai fasilitator?
2.      Apakah kita akan membentuk peserta didik sebagai konsumen informasi dan pengetahuan? Atau aktif sebagai produsen pengetahuan?
3.      Apakah kita percayakan penilaian institusi pendidikan kepada Badan Akreditasi Nasional (BAN)? Atau langsung kepada pengakuan masyarakat?
4.      Apakah kita mengejar ijazah, sertifikat, KUM? Atau bertumpu langsung pada pengakuan masyarakat?
5.      Apakah kita yakin dengan pendidikan formal yang standar, terstruktur, dan diseragamkan berbasis pada kurikulum nasional untuk membentuk karakter manusia yang berbeda-beda? Atau bertumpu pada pendidikan informal,  tanpa kurikulum?
Memang harus diakui bahwa tidak mudah meramalkan apa yang terjadi pada dunia pendidikan di masa depan. Namun demikian, berdasarkan pengalaman di masa lalu, kita bisa menarik suatu pelajaran bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di bidang pendidikan tidaklah berlangsung secara revolusioner, tetapi selalu evolusioner atau gradual. Seseorang yang tidak dapat mengikuti pendidikan konvensional karena berbagai faktor penyebab, seperti harus bekerja (time constraint), kondisi geografis (geogrfaphical constraint), jarak yang jauh (distance constraint), kondisi fisik yang tidak memungkinkan (physical constraint), daya tampung sekolah konvensional yang tidak memungkinkan (limited available seats), phobia terhadap sekolah, putus sekolah, atau karena memang dididik melalui pendidikan keluarga di rumah (home shcooling) dimungkinkan untuk dapat tetap belajar, yaitu melalui e-learning.
B.     Pengertian  E-Learning
Banyak pakar pendidikan memberikan defenisi mengenai e-learning, seperti yang dipaparkan oleh Thomson, Ganxglass, dan Simon (dalam Siahaan, 2004) bahwa e-learning merupakan suatu pengalaman belajar yang disampaikan melalui teknologi elektronika. Secara utuh e-learning (pembelajaran elektronik) dapat didefenisikan sebagai upaya menghubungkan pembelajar (peserta didik)  dengan sumber belajarnya (database, pakar/instruktur, perpustakaan) yang secara fisik terpisah atau bahkan berjauhan namun dapat saling berkomunikasi, berinteraksi atau berkolaborasi secara (secara langsung/synchronous dan secara tidak langsung/asynchronous).
E-learning merupakan bentuk pembelajaran/pelatihan jarak jauh yang memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi, misalnya internet, video/audiobroadcasting, video/audioconferencing, CD-ROOM (secara langsung dan tidak langsung). Kegiatan e-learning termasuk dalam model pembelajaran individual. Menurut Loftus (2001) dalam Siahaan (2004) kegiatan e-learning lebih bersifat demokratis dibandingkan dengan kegiatan belajar pada pendidikan konvensional, karena peserta didik memiliki kebebasan dan tidak merasa khawatir atau ragu-ragu maupun takut, baik untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan pendapat/tanggapan karena tidak ada peserta belajar lainnya yang secara fisik langsung mengamati dan kemungkinan akan memberikan komentar, meremehkan, atau mencemoohkan pertanyaan maupun pernyataannya.
Profil peserta e-learning adalah seseorang yang : (1) mempunyai motivasi belajar mandiri yang tinggi dan memiliki komitmen untuk belajar secara bersungguh-sungguh karena tanggung jawab belajar sepenuhnya berada pada diri peserta belajar itu sendiri (2) senang belajar dan melakukan kajian-kajian, gemar membaca demi pengembangan diri terus menerus, dan yang menyenangi kebebasan (3)mengalami kegagalan dalam mata pelajaran tertentu di sekolah konvensional dan membutuhkan penggantinya, atau yang membutuhkan materi pelajaran tertentu yang tidak disajikan oleh sekolah konvensional setempat maupun yang ingin mempercepat kelulusan sehingga mengambil beberapa mata pelajaran lainnya melalui e-learning, serta yang terpaksa tidak dapat meninggalkan rumah karena berbagai pertimbangan.

C.     Fungsi Pembelajaran Elektronik (e-learning)
Menurut Siahaan (2004), setidaknya ada 3 (tiga) fungsi pembelajaran elektronik terhadap kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom instruction):
1.   Suplemen (tambahan)
Dikatakan berfungsi sebagai suplemen apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan
2.   Komplemen (pelengkap)
Dikatakan berfungsi sebagai komplemen apabila materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas. Sebagai komplemen berarti materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pengayaan atau remedial. Dikatakan sebagai pengayaan (enrichment), apabila kepada peserta didik yang dapat dengan cepat menguasai/ memahami materi pelajaran yang disampaikan pada saat tatap muka diberi kesempatan untuk mengakses materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan terhadap materi pelajaran yang telah diterima di kelas. Dikatakan sebagai program remedial, apabila peserta didik  yang mengalami kesulitan memahami materi pelajaran pada saat tatap muka diberikan kesempatan untuk memanfaatkan materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dirancang untuk mereka. Tujuannya agar peserta didik semakin mudah memahami materi pelajaran yang disajikan di kelas.
3.   Substitusi (pengganti)
Dikatakan sebagai substitusi apabila e-learning dilakukan sebagai pengganti kegiatan belajar, misalnya dengan menggunakan model-model kegiatan pembelajaran. Ada 3 (tiga) alternatif model yang dapat dipilih, yakni:
(1)   sepenuhnya secara tatap muka (konvensional),
(2)   sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau bahkan
(3)    sepenuhnya melalui internet.

D.     Penyelenggaraan E-Learning
Pembelajaran elektronik (e-learning) telah dimulai pada tahun 1970-an. Kegiatan belajar yang bagaimanakah yang dapat dikatakan sebagai  e-learning? Apakah seseorang yang menggunakan komputer dalam kegiatan belajarnya dan melakukan akses berbagai informasi (materi pembelajaran) dari internet dapat dikatakan telah melakukan e-learning? Ilustrasi berikut merupakan kegiatan e-learning (dalam Siahaan, 2004):
Ada seseorang yang membawa laptop ke sebuah tempat. Dia melakukan  akses terhadap berbagai materi program pelatihan yang tersedia. Tidak ada layanan bantuan belajar dari tutor maupun dukungan layanan belajar bentuk lainnya. Dalam konteks ini, apakah orang tersebut dapat dikatakan telah melaksanakan e-learning? Jawabnya adalah TIDAK. Mengapa? Karena yang bersangkutan di dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukannya tidak memperoleh layanan bantuan belajar dari tutor maupun layanan bantuan belajar lainnya. Bagaimana kalau yang bersangkutan mempunyai telepon genggam kemudian menghubungi seorang tutor? Apakah dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan e-learning? Jawabnya YA.
Dari ilustrasi di atas, setidaknya dapat ditarik 3 (tiga) hal penting sebagai persyaratan kegiatan belajar elektronik (e-learning), yaitu:
a.      kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan (misalnya penggunaan internet)
b.      tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik, misalnya CD-Room, atau bahan cetak, dan
c.      tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta didik apabila mengalami kesulitan.
Di samping ketiga persyaratan tersebut masih dapat ditambahkan persyaratan lainnya, seperti adanya:
a.      lembaga yang menyelenggarakan/ mengelola kegiatan e-learning,
b.      sikap positif dari peserta didik dan pendidik/tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan internet,
c.      rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh setiap peserta didik,
d.      sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta didik, dan
e.      mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara.
Ada beberapa pertimbangan untuk menggunakan e-learning dewasa ini, antara lain :
a.      harga perangkat komputer semakin lama semakin terjangkau (tidak lagi diperlakukan sebagai barang mewah).
b.      Peningkatan kemampuan perangkat komputer dalam mengolah data lebih cepat dan kapasitas penyimpanan data semakin besar
c.      Memperluas akses atau jaringan komunikasi
d.      Memperpendek jarah dan mempermudah komunikasi
e.      Mempermudah pencarian atau penelusuran informasi melalui internet.


E.   Penutup
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi serta desakan kompetisi global, e-learning saat ini dirasakan tidak saja sebagai media alternatif untuk melaksanakan proses belajar mengajar tetapi telah diposisikan sebagai alat dalam mencapai pembentukan kompetitif yang global. Perkembangan di berbagai negara memperlihatkan bahwa jumlah pengguna internet terus meningkat, jumlah institusi penyelenggara  e-learning dan peserta didik yang mengikutinya juga bertambah. Bagaimana dengan Indonesia?

DAFTAR PUSTAKA
Purbo, Onno W. 2003. E-Learning dan Pendidikan. Artikel Dalam Cakrawala Pendidikan Universitas Terbuka.
Siahaan, Sudirman. 2004. E-Learning (Pembelajaran Elektronik) Sebagai Salah Satu Alternatif Kegiatan Pembelajaran. Sumber dari internet.
Simamora, Lamhot S.P. 2003. E-Learning: Konsep dan Perkembangan teknologi Yang Mendukungnya. Artikel dalam Cakrawala Pendidikan Universitas Terbuka.