Rabu, 14 September 2011

SISTEM KEPENDIDIKAN DAN PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHAP KEDUA


Oleh: Ahmad Tafsir

Pembangunan jangka panjang tahap kedua yang terkenal dengan sebutan PJP-II sebenarnya tidaklah amat istimewa, sebutan itu biasa-biasa saja, itu hanyalah lanjutan pembangunan yang telah lalu. Di manapun di dunia ini pembangunan itu selalu jutan, bila tidak berkelanjutan itu berarti pembangunan macet.Tidak ada pemimpin yang merencanakan pembangunan negaranya untuk suatu ketika macet. Menurut saya, digembar-gemborkannya PJP-II itu sebagian besar bernuansa politik yang dimunculkan para pemimچ pin. PJP-II itu adalah hal yang biasa-biasa saja.     

PJP-II menjadi luar biasa bila kita menghubungkannya dengan keadaan umum dunia dan hubungan itu merupakan suatu keharusan. Jadi, _kondisi dunia_ itulah yang memaksa kita amat berhati-hati dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua ini. Karena itu pula PJP-II agaknya memang perlu digembargemborkan. Apa kondisi dunia yang saya maksud? Yang saya maksud ialah terjadinya globalisasi -mungkin- dalam semua aspek kehidupan. Bila dalam pemچ bangunan itu kita tidak berhati-hati, maka mungkin saja kita akan "dimakan" oleh budaya global itu. Yang dimakan itu baik aspek budaya fisik maupun budaya non-fisik kita. Nah, dalam kerangka inilah menurut saya fungsi guru akan sangat penting. Gurulah orang yang paling banyak dapat berbuat dalam merekayasa budaya bangsa, selain pejabat politik sebagai pengmbil keputusan. Guru dan pembuat keputusanlah yang paling bertanggung jawab membawa masyarakat memasuki budaya global itu. Kesimpulan ini memberikan implikasi antara lain perlunya disiapkan tenaga kependidikan termasuk guru- sebaik-baiknya. Karena itu pusat-pusat pendidikan tenaga kependidikan tentunya menjadi perhatian utama.     

Untuk melahirkan tenaga pendidik yang sesuai dengan kebutuha diperlukan lembaga pendidikan, sekolah misalnya. Sekolah atau lembaga kependidikan untuk menghasilkan tenaga kependidikan bersifat berjenjang; masing-masing jenjang itu disebut sub-sistem kependidikan. Itu terentang sejak tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi. Apakah masing-masing sub-sistem lembaga kependi dikan itu telah "kompak" dengan sistemnya atau belum, tentulah tidak mudah menjawabnya. Sekalipun demikian ada konseo-konsep tertentu yang dapat digunakan untuk mengukurnya.      

Konsep pertama ialah tujuanpendidikan pada sub-sistem tertentu, misalnya tujuan pendidikan sekolah dasar. Bila tujuan itu relevan dengan tujuan tertinggi pendidikan lembaga kepndidikan, maka tujuan sub-sistem  itu  kita katakan sudah benar. Maka چ bila misalnya tenaga kependidikan tertinggi itu kita ambil tujuan pendidikan di IKIP jurusan apapun sebagai patokan, maka tujuan di tingkat pendidikan dasar dan menengah haruslah relevan dengan tujuan IKIP tersebut. Tetapi, tujuan pendidikan pada lembaga tertinggi itu harus benar lebih dahulu.

Konsep kedua ialah kurikulum sub-sistem tersebut, misalnya kurikulum sekolah dasar. Logikanya, bila tujuannya sudah relevan maka kurikulumnyapun seharusnya sudah relevan dengan kurikulum sub-sistem yang tertinggi tadi.
Konsep ketiga ialah tentang metodologi. Bila tujuan sudah benar, kurikulum sudah relevan dengan tujuan itu, maka metodologi pendidikan juga harus relevan dengan tujuan itu. Yang dimaksud dengan metodologi di sini ialah langkah-langkah pendidikan dalam rangka mencapai tujuan tersebut.     

Inilah tiga konsep pokok yang dapat digunakan untuk mengukur relevansi hubungan antara sub-sub-sistem pendidikan dalam lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Tentu saja tiga konsep itu di sini hanya ditulis namanya saja, tidak mungkin dijelaskan satu persatu; yang di atas itu penjelasan singkatpun bukan. Dalam penglihatan sepintas, kiranya keadaan lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang kita miliki sekarang sudah pada jalan yang benar, sekalipun kesimpulan saya ini tidak ditarik secara hati-hati.      

Sebenarnya, kunci semuanya itu terletak pada perumusan _tujuan_ pendidikan pada lembaga kependidikan termaksud. Kesulitannya ialah perumusan yang kita buat hari ini seringkali sudah kurang relevan esok harinya. Tuntutan kebudayaan ternyata cepat sekali berkembang dan di sana-sini berubah. Yang dapat kita pertahankan ialah tujuan-tujuan pokok, yang ini biasanya bersifat tetap.     

Tenaga kependidikan yang diharapkan ialah yang memiliki tingkat profesional yang tinggi. Tenaga seperti inilah yang diharapkan oleh perkembangan kebutuhan yang selalu berkembang dan berubah itu. Persoalan terletak pada kemampuan kreatif lulusan pendidikan tenaga kependidikan, apakah ia mampu mengubah dan menyesuaikan dirinya (maksudnya keahliannya) dengan tuntutan baru? Hanya satu hal yang dapat saya kemukakan dalam menjawab pertanyaan terakhir ini, yaitu tergantung pada "raw input" calon pendidik tersebut, dalam hal ini sebaiknya raw input_nya adalah siswa yang kecerdasannya di atas rata-rata, mereka ini biasanya  berpotensi untuk menyesuaikan dirinya secara kreatif.     

Profesi calon pendidikan memang dapat disiapkan di lembaga kependidikan. Tetapi, profesi itu tidak akan mencukupi bila ia tidak secara kreatif mengembangkannya. Karena itu untuk memenuhi syarat disebut profesional ia haruslah memiliki ciri-ciri berikut:
1.      Menjadi pendidik hendaklah merupakan panggilan hidupnya dan dikerjakan sepenuh waktu.Panggilan hidup artinya pilihan sadar, dipilih karena wajib, bukan terbawa-bawa oleh orang lain, bukan pula karena kesenangan atau hobi belaka. Sedangkan sepenuh waktu maksudnya ialah bukan sambilan, bukan part- dan bukan pula untuk sementara.
2.      Dalam profesinya itu ada keahlian yang khas yang tidak dimiliki oleh profesi lain. Di dalam profesinya itu ada bagian yang gelap bagi pemegang profesi lain. Itu berarti suatu profesi harus dipelajari secara khusus, bukan diwarisi atau diperoleh dengan cara mencuri-curi. Makanya pemegang suatu profesi selalu memiliki surat keterangan bahwa ia memegang profesi itu.
3.      Di dalam keahliannya itu ia memiliki teori teori-teori yang baku secara universal. Artinya profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka, jadi seca     ra universal pegangannya diakui. 
4.      Kerja sebagai pendidik harus dipilihnya sebagai ajang pengabdian, bukan untuk kepentingan pencarian materi untuk diri sendiri. Jika pemegang profesi mendapat bayaran berupa materi, itu adalah penghargaan masyarakat yang memerlukan profesinya, bahwa ia harus hidup, perlu makan, biaya untuk mengembangkan, minimal menjaga profesinya itu. Pemegang profesi adalah orang     yang tahu diri, masyarakat juga orang yang tahu diri.
5.      Profesi harus juga dilengkapai dengan kecakapan diagnostic dan kemampuan aplikatif.
6.      Pemegang profesi sebagai pendidik memiliki otonomi dalam melakukan profesinya. Otonomi itu hanya dapat diuji oleh anggota profesi itu. Itulah sebabnya ada orang berpendapat bahwa tidak setiap orang boleh berbicara tentang pendidikan.
7.      Profesi harus memiliki kode etik. Dalam hal pendidik, kita telah memiliki kode etik guru Indonesia. 
8.      Pemegang profesi sebaiknya aktif dalam organisasi profesi. Di situ ia dapat mengembangkan profesinya bersama teman sejawatnya.     

Itu adalah "pagar" yang di dalam pagar itu seseorang dapat disebut memiliki suatu profesi, termasuk kreativitas yang dimaksud tadi. Bila tenaga kendidikan telah memiliki yang delapan itu maka ia akan dengan sendirinya dapat menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya, terutama murid-muridnya. Teladan dalam segala hal. Bagaimana keadaan tenaga kependidikan yang kita miliki sekarang?     

Yang dimaksud dengan "tenaga kependidikan" bukanlah hanya guru. Kepala sekolah, pegawai sekolah, dan semua orang yang bersangkutan dengan sekolah itu seperti pengurus yaysan, pegawai kantor pendidikan, semuanya adalah tenaga kependidikan.       Mutu tenaga kependidikan kita itu tidak akan terlepas dari dua hal yaitu _mutu lembaga pendidikan yang melahirkannya serta kebudayaan yang melingkupinya.       Bagaimana keadaan lembaga kependidikan kita? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengukurnya dengan diktum-diktum tujuan pendidikan kita seperti yang terdapat di dalam undang-undang pendidikan yang kita miliki. Di dalam undang-undang itu disebutچ kan bahwa tujuan pendidikan kita adalah :
1.      Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.      Berbudi pekerti luhur;
3.      Berpengetahuan dan berketerampilan;
4.      Sehat jasmani dan ruhani;
5.      Berkepribadian yang mantap;
6.      Mandiri;
7.      Memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Tujuan pendidikan seperti tercantum dalam undang-undang itu sudah benar. Benar, karena bila tujuan itu tercapai maka lulusan kita pasti akan mampu hidup dalam zaman global yang penuh tantangan itu. Lulusan kita -saya kira- tidak hanya akan mampu dengan bangsa lain, bahkan akan mampu berada di depan bangsa lain. Yang hebat dalam tujuan itu ialah ketika pengetaچ huan, keterampilan, kemandirian, dan tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan itu berada di tangan orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bila dunia diatur dan dihuni oleh orang-orang seperti itu saya yakin dunia ini akan menjadi tempat tinggal yang menyenangkan, mungkin orang akan keenakan sehingga ia enggan meninggalkan dunia ini, seandainya boleh demikian. Tetapi bila kita memperhatikan kualitias pendidiچ kan di rumah tangga dan pendidikan di sekolah sekarang, maka kita akan ragu, apakah tujuan itu dapat dicapai. Pendidikan keimanan adalah pendidikan yang harus dilakukan di rumah tangga, bukan terutama di sekolah. Bila pendidikan  keimanan telah berhasil di rumah tangga, maka pendidikan keimanan di sekolah akan dapat dilakukan dengan mudah. Begitu pula sebaliknya. Yang kita saksikan sekarang ialah yang sebaliknya itu. Ayah dan ibu telah terlalu jarang di rumah, kadang-kadang ayah dan atau ibu tidak pula memahami cara menanamkan iman kepada anak-anaknya. Ini akan menjadi masalah serius kelaknya bila tidak segera diantisipasi sejak sekarang. Perlu segera diantisipasi karena hal itu merupakan tuntutan tujuan pendidikan nasional itu; perlu segera diantisipasi karena globalisasi itu membawa nilai-nilai yang dapat merusak keimanan manusia. Urusan tanggung jawab orang tua terhadap penanaman iman kepada anak-anaknya hendaknya tidak diserahkan begitu saja kepada orang tua tersebut. Mungkin saja banyak orang tua yang tidak tahu bahwa hal itu merupakan tanggung jawab mereka, mungkin saja banyak orang tua yang menyangka bahwa soal pendidikan itu seluruhnya dapat diserahkan saja ke sekolah. Menurut hemat saya, pemerintah perlu campur tangan sampai ke rumah tangga, terutama dalam hal pendidikan keimanan tersebut. Perlu campur tangan, karena bila di rumah pendidikan keimanan itu gagal, itu berarti akan gagal pula pendidikan secara keseluruhan, dus tujuan pendidikan nasional tidak akan tercapai. Kerjasama sekolah dengan rumah tangga jelas perlu sekali. Apa isi kerjasama itu, toh dapat dirancang belakangan; toh esensinya sudah diketahui yaitu  penanaman keimanan itu tadi. Tokoh-tokoh informal dalam masyarakat tidak boleh berpangku tangan menghadapi gejala itu. Banyak sekali media yang dapat digunakan oleh tokoh masyarakat untuk menginsafkan orang tua di rumah tentang tanggung jawabnya itu. Media khotbah jum'ah, ceramah-ceramah, pengajian rutin dan sebagainya dapat digunakan sebagai media yang efektif. Penulisan di berbagai penerbitan lokal atau nasional juga dapat dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat tersebut. Bila usaha tokoh masyarakat itu dikoordinasikan dengan pemerintah melalui tokoh formal, tentu itu salah satu yang sangat baik ditempuh. Pendidikan keimanan di sekolah berjalan sebagaimana pendidikan untuk bidang studi lain. Pada umumnya yang dilakukan guru ialah menanamkan iman dengan cara pengajaran kognitif. Usaha ini amat diragukan keefetivannya dalam hal menanamkan iman. Yang menjadi kunci pendidikan keimanan di sekolah ialah penciptaan atmosfer lingkungan sekolah yang kondusif bagi penanaman iman; ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah. Penambahan pengetaچ huan tentang iman penting juga tetapi sungguh-sungguh hanya sedikit saja bahkan diragukan hasilnya bagi penanaman iman. Ini berarti peringatan kepada kepala sekolah. Peringatan ini penting bagi kepala sekolah bila ia ingat bahwa tujuannya ialah mencapai tujuan pendidikan nasional tadi. Bila kepala sekolah tidak memperhatikan peringatan ini maka usahanya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional dapat dikatakan kurang maksimal, bahkan sia-sia saja. Mengenai pendidikan pada aspek pengetahuan, keterampilan, serta penanaman sikap bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa, tidak saya bahas di sini. Yang dibahas berikut ini ialah sedikit tentang pendidikan kemandirian. Penglihatan selintas terhadap pendidikan di rumah tangga dan di sekolah menunjukkan bahwa usaha para pendidik (orang tua dan pendidik di sekolah) untuk menjadikan anaknya atau anak didiknya  mandiri masih amat kurang. Di rumah masih terlalu banyak orang tua yang terlalu "memanjakan" anaknya. Anaknya terlalu banyak ditolong, kurang diberi beban tanggung jawab. Kadang-kadang orang tua kasihan pada anaknya, kasihan bila anaknya kerja keras, tidak tega bila kurang uang jajannya, tidak sampai hati bila anaknya tidak dapat mengikuti teman-temannya ke klub setiap malam Ahad, dan sebagainya. Orang tua seringkali mengikuti saja kehendak anaknya, sekalipun kehendak anaknya itu tidak masuk akalnya. Anak-anak punya cita-cita.  Cita-cita anak remaja biasanya selalu tinggi: hendak menjadi manager, turun naik mobil sendiri bersama sopir, pakai dasi, memegang telepon genggam. Biasa, remaja hanya melihat masa depan itu pada aspek enaknya saja. Dan orang tua juga mengikuti saja pikiran itu. Padahal orang tua sebenarnya tahu bahwa seringkali hidup harus dijalani dengan amat sulit. Saat ini ideal pemuda kita banyak sekali dipengaruhi budaya Barat yang mereka saksikan pada filem atau media cetak. Hanyut dalam cita-cita itu, kadang-kadang mereka lupa betul bahwa hidup itu lebih banyak sulitnya dari pada mudahnya. Ujung-ujungnya mereka gagal menjadi orang yang mandiri. Pendidikan di sekolah juga kurang ditujukan kepada kemandirian. Lihatlah bagaimana guru mengajar. Mereka umumnya berceramah, menerangkan. Anak selalu disuapi. Metode inquiry, problem solving dan sejenisnya, sebenarnya banyak membantu menciptakan orang yang mandiri. Sayangnya jarang sekali guru menggunakan metode ini. Para siswa ingin segera selesai sekolah, ingin nilai yang bagus. Ya, agar kedudukan yang enak tadi dapat diraih secepatnya, begitu pikir mereka. Untuk itu mereka tidak segan berbuat tidak jujur. Yang paling berbahaya ialah melihat catatan waktu ujian, istilahnya nyontek. Nyontek itulah demonstrasi yang paling nyata tentang ketidakmandirian siswa kita. Biladigunakan analisis psikologis, kita akan tahu bahwa nyontek itu amat berbahaya dalam pendidikan. Tetapi, apakah kepala sekolah tahu hal ini? Apakah guru juga memahami bahaya ini? Mengapa tidak diciptakan suatu cara evaluasi yang dengan cara itu siswa tidak mungkin melakukan penyontekan? Mengapa hukuman bagi siswa yang ketahuan nyontek seringkali terlalu ringan, bahkan hanya diperingatkan saja? Bukankah gejala ini menjadi bukti bahwa kita para pendidik kurang beruasaha menjadikan murid kita mandiri? Wah, ini konyol sekali. Sedangkan untuk dapat hidup di zaman global nanti, kemandirian itu amat penting.          Bagaimana dengan kebudayaan kita? Dapatkah kebudayaan kita memacu siswa agar beriman, bertaqwa, cinta bangsa, dan mandiri? Bila dilihat secara agak teliti kita tentu akan berkesimpulan bahwa kebudayaan sekarang, tidak mendukung terwujudnya orang yang mandiri seperti yang diharpkan itu. Kita  tidak  mungkin lari dari proses  globalisasi. Yang  mungkin ialah kita berusaha merekayasa  kebudayaan yang mampu memfilter nilai-nilai negatif yang dibawa arus globalisasi itu. Tapi apa yang kita lihat? Orang-orang semakin materialist. Itu jelas sekali, pada kalangan muslimpun tidak terkecuali. Orang semakin individualis, kebersamaan semakin merosot. Ini pasti berujung pada menipisnya keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sangsi sosial juga amat mundur, padahal itu salah satu media dalam mendidik anak muda. Coba saja lihat. Dulu, anak yang pacaran secara terang-terangan sudah dicap tidak baik oleh masyrakat, sekarang anak remaja yang hamil sebelum nikah sudah mulai dianggap tidak apa-apa, itu biasa. Karena biasa, maka ia langsung menjadi nilai kebudayaan. Dulu, orang tua mengatur anaknya, dan anak-anaknya bersedia menerima aturan itu. Sekarang sudah banyak orang tua yang diatur oleh anaknya; orang tua itu ada yang pontang-panting mencari uang demi menuruti aturan yang dibuat oleh anaknya. Kasihan orang tua zaman sekarang. Kebudayaan kita tidak mungkin tidak berubah. Ya, itu benar. Itu mengikuti hukum kebudayaan. Tetapi, apakah perubahan itu menuju ke yang baik atau ke yang buruk, itu dapat kita rekayasa.  Menolak semua nilai Barat adalah hal yang tidak mungkin dan merupakan kebodohan. Yang bijaksana ialah mengambil nilai Barat yang positif dan menyingkirkan yang negatif. Bagaimana caranya? Kita memerlukan filter untuk itu. Filternya ialah keimanan tadi. Jadi, kembali lagi ke keimanan. Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa _penanaman iman itulah inti segala pendidikan. Bila demikian guru yang profesional harus memahami benar tesis ini. Lembaga pendidikan yang menghasilkan guru, juga harus, sekali lagi harus, mencamkan benar-benar tesis terakhir ini. Bila tidak, sia-sialah semua usaha pendidikan itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar